Berguru di Internet

oleh
Tajwini Jahari Alumni Daar El-Qolam  1990, Direktur PT. KRA Indonesia

Tanya saja sama Mbah Google! Demikian kalimat yang mungkin pernah atau sering Anda dengar. Kalimat yang boleh jadi ada benarnya, tetapi bukan berarti sebenar-benarnya. Tentu pernah juga Anda dengar ihwal Jujun Junaidi, anak petani di Sukabumi, menghebohkan media sosial November tahun lalu. Lulusan STM yang bekerja di bengkel di Karang Tengah, Cibadak, Sukabumi itu dapat membuat pesawat helikopter meski belum diujiterbangkan. Kisah yang juga terjadi di India. Chetram Gurjar, pemuda dari negara bagian Rajasthan. Bahkan helikopternya berhasil terbang di udara. Anak petani dari desa Jhoonpdi itu  menggunakan dua mesin sepeda motor Honda CBZ untuk menerbangkan helikopter yang dinamai Pawan Putra terbang setinggi enam meter.

Koq bisa? Google-lah yang mengantarkan mereka berhasil membuat pesawat helikopter.

Anda hanya membutuhkan jaringan internet, lalu “masuk” ke google dan bertanya kepada Mbah Google sesuatu yang Anda inginkan. Lantas, Anda akan diarahkan oleh penyedia informasi itu. Mungkin Anda pun bisa membuat pesawat seperti Jujun atau Chetram. Anda juga bisa secara instan belajar membuat makanan dari negeri tertentu yang Anda suka. Kalau Anda adalah anak milienial yang tinggal di kota, tidak pernah membuat layang-layang seperti anak-anak desa era sebelum 80-an, pun bisa belajar dari internet.

Namun, itulah, belajar sendiri menggunakan informasi dari internet tentu terganjal keterbatasan. Seperti Jujun yang hingga saat ini belum  berhasil mengujiterbangkan pesawatnya. Atau Chetram yang hanya mampu menerbangkan pesawatnya setinggi rumah dua lantai.

Tentulah hal tersebut tidak kita bandingkan dengan B.J. Habibie. Untuk mampu membuat pesawat, mantan presiden ke-3 ini harus kuliah di Jerman dengan rentang waktu yang cukup panjang, sepuluh tahun dengan kercerdasan yang bukan rata-rata. Karyanya, N-250 Gatotkaca, misalnya, mendapatkan pengakuan dunia terhebat di kelasnya.

Belajar dan Berguru

Ada yang disebut ahwal berupa kondisi atau situasi yang tidak hanya bisa ditangkap melalui yang tampak. Dan itu hanya bisa didapat dari guru secara langsung. Namun bukan berarti yang mau belajar dari internet dan menciptakan sesuatu harus terhalangi karena tidak ada guru langsung. Andai berguru langsung dengan ahlinya, mungkin Jujun atau Chetram bisa membuat pesawat yang setara dengan pesawat helikopter pada umumnya.

Tidaklah mengapa begitu hasilnya jika berkait dengan sains dan teknologi atau untuk keahlian tertentu. Bagaimana halnya dengan pelajaran yang ruhaniyah atau pelajaran agama. Bisakah tanpa guru langsung? Cukupkah belajar hanya dari internet saja?

Belajar secara langsung bukan  harus dimaknai sebagai tatap muka langsung saja, meski dalam pelajaran agama, belajar secara direct sangat penting. Mengapa? Karena belajar agama bukan sekadar belajar sains, tetapi juga adab dan akhlak. Ini berarti tidak hanya menyangkut pelajaran tentang pengehatuan, tetapi juga perilaku.

Sekarang sudah banyak tersedia cara belajar secara digital; murid dan guru tersambung  internet secara langsung. Banyak ustaz dan ulama yang punya kanal-kanal khusus di situs-situs internet bahkan You Tube. Bahkan ada pesantren yang menawarkan cara belajar seperti itu. Anda pun bisa belajar di sana.

Tetapi ingat, bukan belajar secara comot sana comot sini seperti yang banyak dilakukan di internet. Yaitu belajar dengan mencari sendiri dari berbagai sumber, yang kemudian Anda kumpulkan sendiri, Anda pahami sendiri, dan Anda simpulkan sendiri. Jika ini yang terjadi, mungkin saja Anda tersesat.

Pada pelajaran agama, satu hal yang harus dicamkan adalah bahwa materi keagamaan itu harus tersambung kepada Rasulullah. Di sanalah pentingnya berguru agama. Jika Anda mengamalkan doa yang Anda dapat dari internet, yang sumbernya tidak jelas, bukan dari guru yang jelas, dan bukan bersumber dari hadist yang sohih, bisa saja setan yang  membimbing Anda.

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir

Anda tentu ingat kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir. Ini adalah pelajaran sangat penting bagi para santri dan kita semua dalam belajar agama, yaitu tentang pentingnya mursyid. Bahwa guru sebagai mursyid lebih tahu kebenarannya. Mursyid tidak hanya mengikuti yang logis semata. Pada kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, keduanya adalah contoh dan sekaligus pelajaran bagaimana mencari ilmu yang benar.

Anda tentu juga ingat pelajaran bagaimana santri harus menuntut ilmu kepada gurunya. Berawal dari sebuah pertanyaan seorang bani Israel kepada Nabi Musa di sebuah majlis, “Apakah ada orang yang lebih pintar dari Anda?” Nabi Musa menjawab tidak ada.

Nabi Musa pun ditegur oleh Allah. Musa secara meyakinkan menjawab bahwa tidak ada orang yang lebih pintar dari dirinya. Dan tidak menyebutkan pula dalam jawabannya itu kata insyaallah. Andai saja jawabannya menggunakan kata insyaallah, mungkin Allah tidak akan menegurnya. Allah kemudian menyampaikan ada seseorang yang memiliki ilmu sangat luas. Mendengar itu, Musa ingin menemui dan belajar darinya. Kemudian Allah menunjukkan bahwa orang itu bisa dia temui di pertemuan dua laut.

Musa pun melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk menemui calon gurunya itu. Dia ditemani oleh muridnya bernama Yusra hingga berjumpa dengan Nabi Khidir di tempat yang disebutkan Allah: pertemuan dua laut.

Ketika berjumpa, sang guru, Nabi Khidir menyampaikan bahwa Musa tidak akan sanggup memenuhi syarat untuk belajar dengannya.  Namun Musa menjawab, “Insyaallah kau akan dapati aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam  urusan apa pun.”

Nabi Khidir kemudian membuat aturan sebelum benar-benar menerima Musa sebagai muridnya, yaitu syarat agar Nabi Musa patuh sepatuh-patuhnya kepada gurunya; taat tanpa bertanya-tanya. Nabi Musa diikat oleh peraturan bahwa dia harus diam, tidak boleh mengomentari apa pun yang Nabi Khidir ajarkan atau perlihatkan sebagai pelajaran. Nabi Khidir menjelaskan toriqot dan adab antara guru dan muridnya. Semuanya diterapkan atas Musa padahal Musa adalah seorang nabi, penduduk bumi yang sangat mulia saat itu, hamba Allah terbaik dan yang paling Allah cintai.

Khidir membuat semua aturan perguruan untuk Nabi Musa. Nabi Musa berjanji patuh seperti jawabannya di atas. Itulah adab belajar dengan guru, terutama di kalangan santri.

Pelajaran pun dimulai. Ketika mereka berdua ingin menyebrang ke sebuah pulau, penduduk di pinggir pantai tahu bahwa itu Nabi Khidir sehingga mereka berlaku baik dan ramah serta mempersilakan mereka berdua naik dan mengantarkannya. Namun, setelah sampai di tujuan, Nabi Khidir melubangi perahu itu padahal pemiliknya sudah berbaik hati mengantarkan mereka berdua. Nabi Musa protes. Nabi Khidir pun mengingatkan syarat yang sudah disampaikan. “Bukankah aku telah berkata, sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku?”

Nabi Musa lalu berkata, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.” Mendengar ini Nabi Khidir pun memaafkan Musa dan tidak memecatnya sebagai murid. Pelajaran  dilanjutkan

Dalam perjalanan Nabi Khidir melihat seorang anak yang kemudian dibunuhnya. Nabi Musa pun protes dan berkata, “Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.” (QS; Al-Kahf : 74)

Kemudian Nabi Khidir menjawab seperti pada ayat selanjutnya, “Bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku.” (QS; Al-Kahf : 75).

Setelah itu, Musa kembali dimaafkan atas kesalahannya atas syarat yang mengikatnya itu.

Selanjutnya, di sebuah perkampungan saat mereka berdua tengah lapar, berjumpa dengan penduduk yang tidak ramah; bahkan mengusir dan melempari dengan batu. Di ujung perkampungan yang penduduknya kasar itu, Nabi Khidir mengajak Nabi Musa memperbaiki sebuah rumah yang hampir rubuh. Lagi-lagi, Nabi Musa protes karena penduduknya kasar sementara ada rumah di kampung itu yang harus mereka perbaiki. Itu dianggap tidak masuk akal.

Maka, Khidir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.” Mereka pun berpisah karena Nabi Musa tidak bisa bersabar seperti yang diinginkan oleh Nabi Khidir. Namun Nabi Khidir menjelaskan apa yang dilakukannya atas tiga kejadian yang membuat Nabi Musa tidak bisa bersabar.

Bahwa perahu dia lubangi karena tahu akan ada perampok yang akan menjarahnya. Dengan demikian, perahu itu selamat dari perampokan. Tentang bocah yang dibunuhnya dikatakan karena kelak setelah besar akan menjadi penjahat sehingga membunuhnya ketika masih bocah lebih baik untuk mencegah kemungkaran. Sementara tentang rumah yang diperbaiki itu karena di dalamnya ada warisan anak yatim yang harus dijaga.

Ahwal

Inilah kunci dari belajar kepada sang guru. Bahwa kebenaran tidak melulu berdasarkan logika. Sang guru memiliki pengetahuan yang berada di balik logika. Itulah yang disebut ahwal atau situasi yang bisa didapat jika berguru langsung. Hal yang tidak diperoleh ketika belajar di internet. Bahwa guru tahu apa yang tidak diketahui oleh muridnya, meski secara akal, itu seolah benar. Maka, guru tidak membimbing muridnya agar akal semata yang menuntun muridnya dalam mengarungi kehidupan.

Tanpa guru, seseorang akan menggunakan sudut pandang teksnya saja. Memang masuk akal, tetapi akal itu tidak bisa dipegang. Potensinya mungkin benar dan mungkin salah seperti itibar pada kisah antara Nabi Musa dan Nabi Khidir.  Tanpa guru, seorang murid tidak akan mendapatkan pembanding. Misalnya pada kisah berikut. Kisah seorang murid melihat seekor burung yang sayapnya patah. Lalu, sang murid itu penasaran dan ingin cari tahu bagaimana burung itu mencari makan.

Tiba-tiba, murid itu melihat ada seekor burung lain yang tidak luka mendekatinya dan memberikan makan. Maka, sang murid itu berkisah kepada gurunya bahwa tidak bekerja pun ternyata bisa makan seperti burung yang luka itu.

Memang tidak salah sang murid bersimpulan seperti itu. Bahwa semua makhluk ada rizkinya karena dia melihat burung yang patah sayapnya bisa makan. Namun, sang guru yang sufi itu mengingatkan agar muridnya cenderung melihat burung yang memberi makan. Sehingga, jika ingin meniru perilakunya, tirulah burung yang memberi makan, bukan burung yang diberi makan. Itu dan begitulah guru.

Penulis

Tajwini Jahari: Alumni Daar El-Qolam tahun 1990, kini menjabat Direktur di PT. KRA Indonesia

Leave a Comment